Kamis, 22 Juli 2010

Vaksin Koyo Pengganti Vaksin Lewat Jarum Suntik



img
Vaksin koyo (Foto: diolah)

Pemberian vaksin pada umumnya melalui penyuntikan dengan menggunakan jarum. Kini, peneliti menemukan vaksin berupa koyo pengganti jarum suntik yang menyakitkan dan juga meningkatkan efektivitas imunisasi.

Vaksin koyo merupakan semacam plester bening yang terdiri dari ratusan jarum mikroskopik yang bisa larut dan menghilang di dalam kulit.

Pengujian terhadap tikus menunjukkan bahwa teknologi ini dapat menghasilkan respons kekebalan yang lebih baik daripada vaksinasi konvesional.

Kelebihan lainnya, seperti dituliskan pada Nature Medicine, tim peneliti mengatakan bahwa suatu hari nanti vaksin koyo memungkinkan orang untuk melakukan vaksinasi sendiri.

Vaksin koyo ini dikembangkan oleh para peneliti di Emory University dan Georgia Institute of Technology, berisi 100 'microneedles' dengan panjang hanya 0,65 mm. Jarum-jarum mikroskopik ini dirancang untuk bisa menembus lapisan luar kulit dan larut ketika mengalami kontak dengan kulit.

Untuk menguji teknologi ini, peneliti memasukkan jarum dan vaksin koyo dengan vaksin influenza. Satu kelompok mencit menerima vaksin influenza menggunakan jarum suntik tradisional dan kelompok lain telah divaksinasi dengan koyo.

Hasilnya menunjukkan bahwa mencit yang divaksin dengan koyo manghasilkan respons imun yang lebih efektif ketimbang vaksin dengan menggunakan jarum suntik biasa.

Jika terbukti efektif dalam uji lebih lanjut, maka vaksin koyo ini bisa menggantikan peran jarum suntik yang menyakitkan untuk vaksinasi, serta orang bisa melakukan vaksinasi sendiri.

"Hal ini bisa menyederhanakan vaksinasi besar-besaran selama pandemi," ujar Sean Sullivan, pemimpin penelitian dari Georgia Tech, seperti dilansir dari BBC, Kamis (22/7/2010).

Sullivan juga menjelaskan, karena jarum mikroskopik pada koyo larut di dalam kulit, maka tidak akan ada jarum tajam berbahaya yang tersisa.

"Vaksin tidak perlu menembus jauh ke dalam kulit karena ada kekebalan sel yang hadir tepat di bawah permukaan kulit," jelas Profesor Richard Compans, asisten penulis dari Emory University Medical School.
Merry Wahyuningsih - detikHealth

Label: , , , , ,

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda